opini: wartawan Radar Lombok
Hiruk pikuk politik belakangan ini makin semarak, dari pusat kekuasaan di Jakarta hingga pelosok pelosok desa Indonesia. Suhu politik yang menajam bukan saja milik kalangan elit politik yang mempertaruhkan terpilihnya calon presiden yang diusung pada pemilihan presiden dan wakil presiden RI 2024. Pesta demokrasi legislatif juga tidak kalah bingarnya, karena menentukan nasib banyak orang yang memprebutkan kursi panas Wakil rakyat
Semua partai politik peserta pemilu kini “berkomplotan” membentuk koalisi sehingga terbentuk Poros besar yang menjagokan tiga calon presiden yakni Calon Presiden Ganjar Pranowo yang di Motori PDI Perjuangan, Anis Baswedan yang digawangi Partai Nasdem dan calon Presiden Prabowo Subianto yang di porosi Partai Gerindra..
Pecah kongsinya sejumlah partai besar koalisi pemerintahan Presiden Jokowi makin memanaskan tensi politik di Indonesia. Tiap hari masyarakat disuguhkan beragam informasi pro dan kontra bahkan berita hoax baik yang dilontarkan para elit politik, buzzer, tim sukses dan penggembira calon dan parpol melalui berbagai aplikasi, koran cetak, digital, online dan berbagai group media sosial.
Panasnya pertarungan politik dirasakan juga di daerah, dari pemilihan gubernur, bupati//walikota. Lebih memanas lagi berlomba lombanya para bakal calon DPR yang memperebutkan kursi panas wakil rakyat.
Tensi pemilihan calon legislatif lebih smarak lagi, terlihat dari pendaftaran dari masing masing partai peserta pemilu yang membawa kadernya yang di daftarkan ke kantor KPU.
Setiap hari kantor KPU penuh sesak oleh para pencari kerja yang dibungkus politik dengan harapan bisa terpilih menjadi wakil rakyat. Setiap kontestan partai politik membawa rombongannya ke kantor KPU mengenakan dengan berbagai atribut dan memakai baju partainya masing masing.
Seperti Partai Golkar, PDI Perjuangan, Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Nasdem, PPP, PAN, PKB, PBB, Partai Perindo, Partai Hanura Partai ummat Rakyat, Partai Gelora, Partai Garuda, Partai Buruh hingga PSI.
Warni warni pakaian yang digunakan para calon pemburu kursi panas wakil rakyat membuat suasana di kota Selong Lombok Timur khususnya kawasan kantor KPU semakin ramai, karena rombongan partai politk memeriahkan pendaftaran caleg membawa massa yang diiringi tabuhan gendang tradisional Sasak seperti Kecimol dan Gendang Blek.
Nuansa kemeriahan saat pendaftaran calon DPRD menjadi tontonan sebagian warga yang kebetulan jalan berpapasan dengan iringan rombongan parpol yang mendaftarkan anggota ke kantor KPU.
Bagi sebagian orang, memperebutkan kursi dewan yang di jatah untuk 50 orang di Kabupaten Lombok Timur dan direbutkan oleh 500 lebih calon tidak lebih diibaratkan mereka sedang “berjudi” mengadu nasib.
Kursi dewan terbatas yang direbutkan banyak calon untuk mengejar harapan meraih mimpinya tidak gratis tapi harus mengeluarkan energi, usaha dan harus pula banyak uang. Popularitas tidak cukup menjadi Calon wakil rakyat tapi harus mempunyai banyak uang.
Ironisnya popularitas dan segepok uang yang dikeluarkan kadang tidak menjamin keterpilihan mereka jadi wakil rakyat. Tidak salah bila kata judi disematkan untuk mereka yang berharap satu tiket kemenangan mengantarkan mimpinya duduk selama lima tahun duduk dan berdiskusi di kantor parlemen
Usaha menjemput takdir dan mengubah nasib itu bukanlah sesuatu yang mudah tapi butuh perjuangan berat. Untuk meraih mimpi besar yakan akan mengubah nasib menjadi orang lebih terhormat bisa jadi siasat politik akan dimainkan baik melalui politik amplop yang dibungkus silaturahmi dan sosialisasi serta serangan pajar saat detik detik pelaksanaan pemilu, menjatuhkan lawan dengan curang bila perlu dengan cara memfitnah dan membuat kan kasus untuk calon yang dianggap sebagai penghalang.
Cara keji dan tidak santun bahkan dilakukan untuk menurunkan kan citra lawan misalnya dengan merendahkan martabat orang lain bagian tidak terpisahkan dari kejamnya politik. Benar kata banyak orang, politik hanya kepentingan pribadi dan kelompok.
Sahabat, teman bahkan saudara se susuan bisa menjadi musuh sementara musuh, lawan dan kawan jauh bisa jadi saudara. Tidak ada sesuatu yang abadi kecuali kepentingan pribadi dan kelompok.
Pesta demokrasi.macam ini banyak mecedrai politisi di Indonesia, mungkin oleh politisi senior yang sudah beberapa periode menikmati empuknya kursi wakil rakyat dengan gaji fantastis dan fasilitas yang mewah.
Belajar dari para seniornya, poltisi yunior dan dadakan memungkinkan pula akan mengikuti dan mencontoh ajaran para seniornya. Hal itu bisa saja dilakukan sekiranya dengan cara itu mereka bisa lolos ke parlemen.
Sebagian lagi orang berkata, politik itu adalah seni untuk memenangkan dan mempertahankan sebuah kekuasaan atau pertandingan. Seni itu bisa dilakukan dengan cara baik atau buruk tergantung siapa orangnya dan situasi yang menguntungkan pribadi dan kelompoknya.
Bagi mereka yang ditakdirkan meraih keberhasilan dari usaha dan ikhtiar yang baik tentunya mereka memperbanyak mengucap rasa syukur kepada Allah dan berterima kasih kepada.kolega dan tim suksesnya . Tapi mereka yang menggantungkan kemenangan dari usaha kurang baik maka siap siaplah untuk kecewa.
Pada usai pesta demokrasi, biasanya banyak dari caleg gagal yang berubah tabiat misalnya menjadi orang gila dan tidak waras. Mental yang jatuh dan terpuruk disebabkan banyak faktor seperti menyesali banyaknya uang yang dikeluarkan, hutang yang menumpuk dan rasa malu yang berlebihan karena batal menjadi anggota DPRD.
Penomena banyaknya caleg setres seperti ini nyaris terajdi setiap musim pemilihan legislatif. Dan biasanya terjadi lonjakan pasien rumah sakit’ jiwa yang menampung caleg gagal .
Pesan terakhir yang bisa disampaikan, mengadu nasib dan menjemput takdir melalui kompetisi calon wakil rakyat adalah suatu pilihan yang baik. Sebelum terjun ke politik sebaiknya persiapkan fisik dan mental dengan ikhtiar kepada Allah. Jangan berharap kepada janji dan manisnya omongan manusia yang menjanjikan bisa jadi pemenang. Janji politik yang tidak sehat, hanya manis di dengar dari bibir yang pintar bersilat lidah. itu biasanya yang membuat kecewa dan berakhir dengan goyahnya iman dan mental sehingga berakhir tragis menjadi pesakitan jiwa.(h. muludin)