Indonesia paska Presiden Jokowi pada tahun 2024 mendatang akan menggelar pemilihan umum (pemilu) untuk memilih calon Presiden baru, Gubernur, Bupati/walikota dan DPRD/DPR RI.
Kendati maSih cukup jauh namun riak pemilu tersebut mulai dirasakan masyarakat, terutama bagi mereka yang ikut sebagai kontestan pemilu untuk jabatan politik di ekskutif dan legislatif. Mereka para calon sudah mengambil ancang ancang partai politik mana yang digunakan sebagai kendaraan untuk mengusungnya menjadi wakil rakyat dan yang duduk di kursi kekuasaan.
Persaingan untuk merebut kekuasaan jabatan politik tidaklah mudah, harus siap mental dan pertahanan yang kuat. Riaknya sudah menghangat ke permukaan. Mesin mesin politik para calon, baik melalui partai politik dan relawan terus bekerja secara senyap untuk meraih simPATI masyarakat. Bahkan, bila perlu menjatuhkan calon lain untuk memenangkan sebuah perjuangan dalam kontestasi yang namanya politik.
Banyak.kalangan berpandangan politik adalah seni, namun tidak jarang politik menjadi Radikal dan sangat lah kejam. Korban politik jelang pemilihan umum menjadi drama yang sering di suguhkan pra demokrasi Indonesia.
Tahun politik terutama calon pertahana baik calon gubernur, bupati dan walikota dan calon dari DPR boleh dibilang waktu yang ngeri ngeri sedap.
Politik saling libas dan mencari cari kesalahan tak bisa dihindari. Calon yang dianggap kuat akan dicari cari kelemahannya, di ulik lalu digoreng dan dicuatkan ke permukaan.
Masalah yang seharusnya tidak dipersoalkan dibuat menjadi kasus, kejadian puluhan tahun lalu diungkit lagi, di viralkan lalu dilaporkan ke aparat penegak hukum.
Bagi calon pertahana, disinilah ngeri ngeri sedap nya tahun politik. Kejadian masa lalu, tiba tiba menjadi gorengan di tahun politik.
Korban politik macam ini telah banyak menjadi korban, mereka terjegal sebelum bertanding di kontestasi pesta demokrasi. Penggiringan opini melalui media sosial menambah cepat viralnya suatu persoalan yang harusnya tidak salah dikasuskan atau sebaliknya.
Hanya calon yang kuat menahan gempuran akan bertahan dan selamat, namun sebagian calon juga gugur karena tidak kuat menahan arus informasi yang sangat masif yang membuat nya loyo sebelum bertanding.
Lebih kejamnya lagi di tahun politik, banyak pejabat publik yang dilaporkan ke aparat penegak hukum di akhir masa jabatan nya . Peristiwa nya puluhan tahun silam, tiba tiba dilaporkan saat jelang pemilihan, ini khusus untuk calon pertahana yang akan ikut lagi tanding nyalon gubernur, walikota dan bupati.
Kalau pejabat publik nya dianggap salah mestinya dilaporkan ke pihak berwajib di daat kejadiannya, ironisnya kejadian yang begitu lama puluhan tahun silam di ulik ulik lagi dicari kesalahan nya, dipersoalkan, lalu dipersalahkan dan dilaporkan ke aparat penegak hukum.
Peristiwa macam gini banyak ditemukan di tahun politik, lagi lagi inilah ngeri sedapnya tahun politik. Pak hakim, pak Jaksa dan pak polisi akan banyak menerima aduan dan laporan dari masyarakat atau pihak tertentu yang ingin menjatuhkan musuh politiknya melalui gerakan senyap.
Katanya Politik itu seni berdemokrasi. Hanya saja, kadang praktek nya lebih kejam dari tusukan seribu belati yang menancap di badan. Ini adalah kondisi lumrah perpolitikan Indonesia setiap jelang tahun politik.
Ambisi dan kekuasaan kadang tidak mengenal kawan dan saudara dalam politik. Saudara bisa jadi musuh, lawan pun bisa jadi saudara,, itu bagian dari kejamnya politik.
Sebaliknya politik akan berada di tempat yang sangat terhormat bila dilakukan dengan rambu rambu yang benar. Hanya orang orang yang memiliki kemuliaan dan komitmen untuk mengabdi yang baik dan benar demi dunia dan akhirat yang bisa melaksanakan.
Semoga para calon pejabat publik dan legislatif kita terhindar dari ngeri ngeri sedapnya tahun politik. Tulisan/Opini dipersembahkan dari bang sergap untuk kita semua. (Smile)